Di tengah semangat penegakan hukum yang kerap digaungkan institusi penegak keadilan, terdapat ironi menyedihkan: sebuah perkara yang lengkap syarat formil dan materilnya justru tak pernah naik ke tahap penyidikan. Lebih menyedihkan lagi, perkara tersebut mati bukan karena kosong alat bukti, tetapi karena penuh tafsir yang dipaksakan.perkara yang yang dilaporkan ke Polres Lahat terkait Pemotongan Gaji Perangkat oleh terlapor istri Kepala Desa Muara Siban Kecamatan Pulau Pinang .
Kami menyebutnya: perkara yang gagal naik kelas.
1. Klarifikasi Ahli dalam Tahap yang Salah
Pasal 120 KUHAP secara tegas menyebutkan bahwa pemeriksaan ahli dilakukan dalam tahap penyidikan. Namun dalam perkara pemerasan yang kami tangani, ahli pidana justru dimintai keterangan dalam tahap penyelidikan. Klarifikasi dilakukan sebelum proses hukum memiliki arah dan arah tersebut belum ditentukan oleh tersangka, bukti lengkap, atau penetapan resmi lainnya.
Logika sederhana pun dapat menjawab: bagaimana mungkin seorang ahli berbicara tentang terpenuhi atau tidaknya unsur delik jika pelaku pun belum diketahui? Apa yang dinilai? Apakah dugaan disulap menjadi fakta melalui opini semata?
2. Pemeriksaan saksi – saksi yang tidak dapat didengar keterangan nya Pasal 168 KUHAP
Pemeriksaan saksi – saksi yang melibatkan Suami dan keponakan, entah penyelidik pura – pura tidak tahu atau enggan menanyai saksi – saksi apakah memiliki hubungan kekeluargaan dengan terlapor . bahkan korban pun sudah menyampaikan kalau saksi – saksi masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan terlapor .
3. Yurisprudensi yang Tidak Relevan
Ironi ini diperparah oleh pemilihan rujukan yurisprudensi yang digunakan oleh ahli: Hoge Raad tahun 1911 dan 1915, yang berbicara tentang kasus kesusilaan, digunakan untuk menjelaskan pemerasan dalam jabatan. Padahal, dalam kasus kami, yurisprudensi yang lebih relevan dan eksplisit justru diabaikan — yakni Hoge Raad 17 Januari 1921 dan Putusan Mahkamah Agung No. 1315 K/Pid/2016.
Pemilihan rujukan yang salah tempat inilah yang akhirnya menjadi landasan menutup perkara. Tafsir yang semestinya menghidupkan, justru dijadikan alat pemakaman perkara.
4. Pelanggaran terhadap Perkapolri No. 6 Tahun 2019
Pasal 5 sampai dengan pasal 9 Perkapolri No. 6 Tahun 2019 yang berbicara tegas tentang tugas penyelidikan tidak ada satupun yang memuat secara ekplisit ahli boleh dimintakan pendapat saat penyelidikan .
Barulah pada Bab Penyidikan Pasal 17 ayat (2) Perkapolri No. 6 Tahun 2019 ahli mulai disebutkan. menyatakan: “pemanggilan terhadap tersangka/saksi/ahli dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan .”
kemudian pada Pasal 23 ayat (1 dan 2) Perkapolri No. 6 Tahun 2019 ahli mulai disebutkan secara ekplisit bersanding dalam proses penyidikan . menyatakan:
"pemeriksaan dilakukan oleh penyidik dan / atau penyidik pembantu terhadap saksi, ahli, dan tersangka yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan yang ditanda tangani oleh penyidik yang melakukan pemeriksaan dan orang yang diperiksa ."
“ pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bertujuan untuk mendapatkan alat bukti dalam proses penyidikan mendapatkan keterangan saksi, ahli, dan tersangka yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan .
Lalu, bagaimana mungkin perkara yang telah memiliki saksi, alat bukti, dan bahkan sudah digelar, tidak naik ke penyidikan? Apakah aturan internal Kepolisian kini sekadar formalitas yang bisa terpaksa ditinggalkan ketika tafsir lebih menarik daripada fakta?
5. Surat Resmi sebagai Akta Kematian Perkara
Penyelidikan perkara ini diakhiri dengan surat resmi berstempel institusi. Isinya menyatakan bahwa setelah gelar perkara dan klarifikasi ahli, disimpulkan perkara tidak dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan. Sederhananya: perkara ini mati, sebelum sempat tumbuh.
Kami menyimpan surat itu di pigura, bukan sebagai bentuk penghormatan, tetapi sebagai monumen ironi: bahwa perkara yang semestinya disidik justru dikubur oleh tafsir yang mendahului prosedur.
6. Perkara Ini Adalah Cermin
Kami bukan mencari panggung. Kami hanya ingin memanggil para penegak hukum, akademisi, dan mahasiswa untuk memandang perkara ini sebagai cermin: bahwa jika tafsir bebas berjalan tanpa kontrol, maka keadilan bisa dibunuh dalam sunyi.
Kami telah menyurati guru-guru besar hukum pidana. Kami memohon pendapat bukan karena kami ragu, tetapi karena kami percaya bahwa ilmu tidak boleh diam ketika pasal dibengkokkan.
Perkara ini gagal naik kelas. Tapi kami tidak akan diam. Karena mungkin, suara yang kecil seperti kami tak akan terdengar oleh kantor besar. Tapi kami percaya, suara ini akan masuk ke telinga sejarah.
Sebagai penutup kami juga mengajak Artikel ini terbuka untuk siapapun yang ingin menanggapi dari semua lapisan masyarakat, aparat penegak hukum lainnya, bahkan ahli lainnya karena logika itu berdiri untuk di uji bukan dipaksa berhenti ataupun dipaksa tidak naik kelas ke penyidikan.
Lahat, 24 Juni 2025
Andi Nirwan, S.H.
Advokat & Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Jayabaya.
Agusman