CYBER POLKRIM
Mahkamah Konstitusi Beri Ruang Masyarakat di Kawasan Hutan Berkebun Tanpa Izin Pemerintah Pusat.*
Permohonan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UUP3H) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 (yang menetapkan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang) telah dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan ini diajukan oleh Sawit Watch, sebuag organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang advokasi lingkungan dan hak masyarakat adat/lokal.
Putusan ini menjadi penting karena memberikan ruang hukum bagi masyarakat adat atau loka yang sudah secara turun temurun memanfaatkan Kawasan hutan untuk berkebun, tanpa harus memiliki izin dari pemerintah pusat. Hal ini menjadi titik balik dalam perlindungan hak-hak masyarakat tradisional dalam kerangka keadilan ekologis dan sosial.
Ketua Mahkamah Konstitusi, Suhartoyo, menegaskan bahwa pasal 17 ayat (2) huruf b dalam pasal 37 angka 5 UU No.6 Tahun 2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘dikecualikan untuk masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial’.
Serta menyatakan pasal 110B ayat (1) dalam pasal 37 angka 20 UU No.6 Tahun 2023 sepanjang berkaitan dengan ketentuan norma pasal 17 ayat (2) huruf b dalam pasal 37 angka 5 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘dikecualikan untuk masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial’
“menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya” sebagian kutipan amar putusan perkara No.181/PUU-XXII/2024 yang di bacakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi di Gedung MK.
Dalam kesempatan yang sama, hakim konstitusi Prof Enny Nurbaningsih membacakan pertimbangan putusan. Antara lain pengecualian sanksi pidana terhadap orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar Kawasan hutan paling singkat 5 tahun secara terus menerus sebagaimana Pasal 12A dalam pasal 37 angka 4 UU 6/2023 dan pasal 17A dalam pasal 37 angka 6 UU 6/2023.
Serta pengecualian atas sanksi administrasi terhadap orang perseorangan yang bertempat tinggal dalam dan/atau di sekitar Kawasan hutan paling singkat 5 tahun secara terus menerus dengan luas paling banyak 5 hektar sebagaimana pasal 110B ayat (2) dalam pasal 37 angka 20 UU 6/2023 dengan tujuan bukan untuk komersial merupakan bentuk keberpihakan kepada masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau sekitar Kawasan hutan.
Selaras pertimbangan hukum dan amar putusan MK No.95/PUU-XII/2014, Mahkamah telah memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial. Dengan demikian norma pasal 17 ayat (2) huruf b dalam pasal 37 angka 5 UU 6/2023 yang menyatakan ‘melakukan kegiatan perkebunan di dalam Kawasan hutan tanpa perizinan berusaha dari pemerintah pusat’.
Di mana larangan tersebut ditujukan kepada setiap orang, serta berpotensi dikenakan sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan usaha, denda administratif, dan/atau paksaan pemerintah sebagaimana pasal 110B ayat (1) dalam pasal 37 angka 20 UU 6/2023 memiliki irisan esensi yang sama dengan pendirian Mahkamah dalam Putusan No.95/PUU-XII/2014, serta tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.
Kepentingan komersial yang dimaksud oleh MK adalah kegiatan perkebunan masyarakat dalam hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan tidak diperdagangkan dengan mendapat keuntungan. Masyarakat yang hidup turun temurun dalam hutan yang membutuhkan sandang, pangan, dan papan untuk kebutuhan sehari-hari tidak dapat dikenakan sanksi sebagaimana pasal 110B ayat (1) dalam pasal 37 angka 20 UU 6/2023.
Artinya, pasal 17 ayat (2) huruf b dalam pasal 37 angka 5 UU 6/2023 sebagai norma primer harus dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.
Masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam Kawasan hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial tidak perlu mengantongi perizinan berusaha dari pemerintah pusat. Perizinan itu dalam legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
Putusan MK ini mengandung sejumlah impikasi hukum penting:
1. Pemaknaan baru atas Kawasan hutan
MK memberikan tafsir yang progresif dengan membedakan antara masyarakat
lokal dan pelaku usaha skala besar dalam konteks pemanfaatan kawasan
hutan. Penegakan hukum pidana tidak dapat diberlakukan secara one size
fits all, terutama ketika menyangkut hak konstitusional masyarakat
adat/lokal.
2. Rekonseptualisasi izin
Putusan ini membuka ruang bahwa izin dari pemerintah pusat tidak selalu
menjadi syarat absolut bagi masyarakat lokal untuk berkegiatan di
kawasan hutan. Ini menantang pendekatan lama yang terlalu administratif
dan mengabaikan realitas sosial-historis masyarakat setempat.
3. Keadilan restoratif dan lingkungan
MK mengedepankan pendekatan restoratif yang menimbang aspek sosial dan
kultural, dibanding pendekatan represif yang selama ini sering digunakan
dalam kasus-kasus perambahan hutan oleh warga miskin desa.
4. Urgensi Pengakuan Hak Masyarakat Adat
Pemerintah dan DPR perlu segera menindaklanjuti putusan ini dengan
mengesahkan RUU Masyarakat Adat dan mempercepat proses legitimasi
wilayah adat, agar tidak lagi terjadi kriminalisasi terhadap masyarakat
yang hidup dalam kawasan hutan secara turun-temurun.
Kuningan, 17 Oktober 2025
Hormat Kami,
Kantor Hukum
*“BAMBANG LISTI LAW FIRM”*
Advocates, Kurator, Mediator Bersertifikasi MA RI No.93/KMA.SK/VI/2019 & Legal Consultant Hukum.